A.
Pengertian
Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata
dasar (masdar) dari zakat yang berati
berkah, tumbuh, bersih dan baik.[1]
Menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar zaka berarti tumbuh, bertambah,
sehingga bisa dikatakan tanaman itu zaka
berarti tanaman itu tumbuh.[2]
Sedangkan menurut istilah fikih berarti “ Sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Alloh diserahkan kepada orang-orang yang berhak”.[3]
Menurut Undang-Undang Zakat No. 23 tahun 2013, Zakat adalah harta yang wajib
dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Berdasarkan pengertian diatas, sudah jelas bahwa
zakat berbeda dengan donasi/infak/shadaqah
yang bersifat sukarela. Zakat merupakan kewajiban seorang muslim yang harus
ditunaikan dan bukan merupakan hak. Sehingga kita tidak dapat memilih untuk
membayar atau tidak. Zakat juga memilki aturan khusus, karena memilki
persyaratan dan aturan baku baik untuk alokasi, sumber, besaran maupun waktu
yang telah ditetapkan oleh syariah.[4]
B.
Zakat
Produktif
Kata
produktif secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak
hasil; banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang mempunyai hasil baik.
Sedangkan productivity berarti daya
produksi. Secara umum produktif berarti “banyak menghasilkan karya atau
barang”. Kata Produktif juga memilki makna “banyak menghasilkan, memberikan
banyak hasil”.
Zakat
yang bersifat produktif adalah pendayagunaan zakat secara produktif yang
pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat
kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai ruh dan tujuan syara’. Cara pemberian yang tepat guna,
efektif manfaatnya dengan system yang serba guna dan produktif sesuai
dengan pesan syariat dan peran dan
fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Dengan
demikian maka zakat produktif adalah merupakan pemberian zakat yang dapat
membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus dengan harta
zakat yang telah diterimanya. Dalam arti para mustahik berupaya untuk
menggunakan dana zakat dalam mengembangkan
usaha sehingga dapat memenuhi kebutuhan secara terus-menerus.
C.
Landasan
Hukum Zakat Produktif
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud zakat produktif adalah pendayagunaan
zakat secara produktif.[5]
Dengan kata lain pendistribusian dana zakat kepada mustahiq dengan cara
produktif. Dana zakat diberikan atau dipinjamkan untuk modal usaha bagi
fakir-miskin dan orang-orang yang lemah.
Mengenai
landasan hukum baik al-Quran mapun hadis, tidak ada dalil yang secara tegas
membahas cara pembagian dana zakat kepada mustahik. Apakah pembagiannya
bersifat konsumtif atau produktif. Namun al-quran hanya menyebutkan pos-pos yang berhak menerima zakat[6],
yaitu Fakir, Miskin,Pengurus-pengurus zakat, Para Muallaf yang dibujuk hatinya,
Untuk memerdekakan budak, Orang Yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan .
Kemudian mengenai pembagian zakat secara produktif
terdapat dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin
Umar dari ayahnya, “bahwa Rasulullah
telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau
disedekahkan lagi”.
Namun demikian, ketidakadaan landasan tentang zakat
produktif bukan berarti tidak dapat mengambil sebuah hukum. Karena pada
dasarnya zakat banyak disebutkan dalam al-quran dan kewajiban yang harus
ditunaikan.[7]
Teori hukum Islam menunjukan bahwa dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak
jelas rinciannya dalam al-Quran dan hadis, penyelesaiannya adalah dengan metode
ijtihad,[8] namun
tetap berpedoaman kepada Al-Quran dan hadis nabi SAW. Hal ini bisa berpedoman
kepada kaidah fikih :
1. Pada
dasarnya segala sesuatu itu dalam bermuamalah boleh dilakukan;[9]
2. Segala
Mudharat harus dihindari;[10]
3. Segala
Mudharat harus dihilangkan, [11]
4. Mencegah
Kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan;[12]
5. Tindakan
atau kebijakan imam (pemegang Otoritas) harus berorientasi pada kemashlahatan[13]
Pertimabangan ini, terutama mengenai pendistribusian
dana zakat secara produktif. Dalam penerepannya tentu harus menyesuaikan dengan
waktu dan kebutuahan mustahiq.
Menurut Ibrahim Hosen, hal demikian adalah agar tujuan inti pensyariatan hukum
Islam yaitu meciptakan kemaslahatan umat dapat terpenuhi dan dengan dinamika
fiqh semacam itu, maka hukum Islam dapat selalu tampil ke depan untuk menjawab
segala tantangan zaman.
D.
Peran
Lembaga Zakat Dalam Pendistribusian Zakat Produktif
Menurut
Yusuf Qardawi zakat memilki fungsi dan tujuan yang agung, yaitu memperkecil
jumlah peminta dan memperbanyak jumlah pemilik.[14]
Hal ini berarti zakat berperan dalam merubah keadaan sebagian besar fakir
miskin menjadi orang yang berkecukupan dan memilki sesuatu. Dan ini merupakan
salah satu tujuan Islam di bidang ekonomi dan kemasyarakatan yang sesuai dengan
tujuan adanya syariat yakni untuk kemashlahatan.
Pemberdayaan
ini, tentunya akan berakibat kepada lahirnya kebersamaan manusia dalam
kebajikan dan perputaran harta tidak
hanya oleh sekelompok kecil orang kaya saja, namun juga menjangkau kaum lemah
sebagi mustahiq zakat.
Sebagaimana
firman Allah SWT QS. Al-Baqoroh [2]: 29
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_
Artinya
: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu …”
Kata
(Jami’an/semuanya) pada ayat
tersebut, sah berfungsi sebagai penguat kata ilma fil ardhi/ apa yang ada di muka bumi, atau penjual pada kata
manusia yang dukhotob (lakum). Tidak
ada halangan untuk mengartikan kedua arti itu secara bersama-sama.[15]
Di
masa rasulullah SAW dan para sahabat lembaga zakat memilki peran yang sangat
strategis. Salah satu perannya dikarenakan zakat merupakan standar kebijakan
fiskal. Sementara menurut Undang-undang
No. 23 Tahun 2011 Lembaga zakat memilki tugas mendistribusikan zakat sesuai syariah
dan pada pasal 1 ayat (1) mengenai pengelolaannya bahwa Pengelolaan zakat
adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Mengenai pendayagunaan
zakat dalam undang-undang tersebut sudah diatur secara jelas, bahwa :
1. Zakat
dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin
dan peningkatan kualitas ummat.
2.
Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi yang
ketetapanya diatur dengan peraturan Menteri.
Sedangkan menurut undang-undang zakat
No. 23 tahun 2013, pengelolaan zakat
bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, dan meningkatkan
manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Lembaga
zakat dalam hal ini berperan sebagai mediator antara muzzaki dan mustahiq
dalam penyaluran dana zakat yang asas pelaksanaannya didasarkan pada firman
Allah SWT, Qs. At-Taubah : 60. Berdasarkan
ayat ini, dapat diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata
dilakukan secara individual, dari muzakki
diserahkan langsung ke mustahik,
akan tetapi dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang memenuhi persyaratan
tertentu yaitu amil zakat.[16] Dan
didalam Bab III undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 1999 disebutkan
bahwa organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada 2 (dua) macam yaitu Badan
Amil Zakat (BAZ)[17]
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ)[18].
Kedua amil zakat ini dalam pengelolaannya harus berasakan syariat Islam,
amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilitas.[19]
E.
Good
Corporate Governance (GCG), Manajemen, Akuntabilitas, Transparansi Lembaga Amil
Zakat
Lembaga Amil
Zakat (LAZ) dalam Good Corporate Governence (GCG), Manajemen, akuntabilitas dan
Transparansi sudah diatur dalam undang-undang zakat. Dan ke emapt hal tersebut
harus dilakukan, karena jika tidak akan berakibat terhadap timbulnya sanksi administratif
atas tindakan menyangkut dana zakat, baik peringatan tertulis, penghentian
sementara dari kegiatan, dan pencabutan izin. Bahkan jika dengan sengaja dan
melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37,38,39 dipidana dengan pidana kurungan
dan denda dengan lama dan denda yang berbeda sesuai tindakan yang telah
dilakukan atas pengelolaan zakat.
1.
Good Corporate Governace (GCG) Lembaga Amil Zakat
Lembaga
Amil Zakat berdasarkan undang-undang No. 23 tahun 2013 bertugas membantu BAZNAS
dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dan
pembentukannya bisa dilakukan oleh msyarakat dengan persetujuan/ wajib mendapat
izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh calon pendiri Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu sebagai
berikut :
a) terdaftar
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial;
b) berbentuk
lembaga berbadan hukum;
c) mendapat
rekomendasi dari BAZNAS;
d) memiliki
pengawas syariat;
e) memiliki
kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f) bersifat
nirlaba;
g) memiliki
program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h) bersedia
diaudit syariat dan keuangan secara berkala
Disamping
itu, berdasarkan undang-undang Lembaga Amil Zakat (LAZ) diwajibkan melaporkan
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
2.
Manajemen
Lembaga Amil Zakat
Manjemen Lembaga Amil Zakat (LAZ) tidak terlepas
dari undang-undang yang telah ditetapkan. Hal tersebut baik dalam pengumpulan,
pendistribusian, pendayagunaan dan pelaporan, sebagaimana diatur dalam undang-undang
zakat No. 23 tahun 2013.
a)
Pengumupulan
Zakat
Pengumpulan zakat yang dilakukan oleh Lembaga Amil
Zakat (LAZ) sesuai undang-undang harus meminta muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya,
kecuali jika tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzakki dapat meminta bantuan BAZNAS.[20] Kemudian
nominal Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan
dari penghasilan kena pajak yang diatur pada undang-undang zakat No. 23 tahun
2013 pasal 22.
Dan
ketika Muzaki sudah membayar
kewajiban zakatnya maka BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat
kepada setiap muzaki sebagi bukti untuk mengurangi kewajiban pajaknya sesuai
dengan undang-undang pajak No. 23 tahun 2003 pasal 23.
Namun
demikian, lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi,
dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
b)
Pendistribusian
Dana Zakat
Dana
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Hal
ini sudah diatur di dalam undang-undang zakat No. 23 tahun 2013, kemudian
pendistribusiannya dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
c)
Pendayagunaan
Dana Zakat
Dana zakat yang terkumpul oleh
Lembaga Zakat baik BAZNAS atau
LAZ sudah diatur secara tegas dalam undang- undang
zakat, yaitu bahwa :
1. Zakat
dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin
dan peningkatan kualitas umat;
2. Pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah
terpenuhi dan selanjutnya diatur dalam peraturan menteri.
3.
Akuntabilitas
Lembaga Amil Zakat
Akuntabilitas Lembaga
Amil Zakat diatur juga dalam undang-undang zakat No. 23 tahun 2013. Dalam hal
ini, Lembaga Amil Zakat (LAZ) wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada
BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
4.
Transparansi
Lembaga Amil Zakat
Lembaga
Amil Zakat (LAZ) melibatkan peran serta masyarakat unruk transparansi baik
pembinaan dan pengawasan. Peran serta masyarakat dalam pembinaan meliputi
peningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan
LAZ, dan memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ. Kemudian
peran serta masyarkat dalam pengawasan yaitu bahwa masyarakat berhak mengakses
terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ,
dan penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
[1] Yusuf Qardawi, “Hukum Fikih
Zakat”, penerjemah : Salman Harun, Didin
Hafidhuddin, Pustaka Litera AntarNusa : Bogor, 1996, hlm. 34
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Sri Nurhayati dan Wasilah, “
Akutansi Syariah di Indonesia Edisi 2 Revisi”, Salemba empat : Jakarta, 2011,
hlm. 278
[5] Ibid.
[7] Qs.
Al-Baqarah [2] : 43, 83, 110, 177, 277,
Qs. An-Nisa [4]: 77, 162, Qs. Al-Maidah [5] : 12, 55, Qs. Al-A’raf [7] : 156,
Qs. At-Taubah [9] : 5, 11, 18, 58, 60, 71, 103, 104, Qs. Maryam [19] : 31,55,
Qs. Al-Anbiya [21]: 73, Qs. Al-Haj [22] : 41, 78, Qs. Al-Mukminun [23] : 4, Qs.
An-Nur : 37, 56, Qs. An-Naml [27] : 3, Qs. Al-Rum [30] : 39, Qs. Lukman [31] :
4, Qs. Al-Ahzab [33] : 33, Qs. Fushilat [41] : 7, Qs. Al-Mujadalah [58] : 13,
Qs. Al-Muzammil [73] : 20, Qs.
Al-Bayyinah [98] : 5
[14] Op. Cit Yusuf Qardawi, hlm. 886
[15] Ibid. hlm. 886-887
0 comments:
Posting Komentar